HIGHWAY SPEED AND MOON LIGHT

Remington, awal musim panas…..
Seorang gadis kecil tengah berusaha mengha-nyutkan kapal-kapal kertas ke tengah sungai. Di atas kapal-kapal itu berdiri lilin-lilin kecil yang bersinar redup. Nyalanya berpendar di di bawah lampu jalan yang mulai rusak.
”Dad….kapalnya tidak mau ke tengah…” rengeknya pada sang ayah yang setia menemani.
”Air sungai sangat tenang, Sayang…..Tidak ada arus yang membawanya…”
”Ayo, Dad…carikan aku arusnya!”
”Lilian…..jangan nakal!”
”Dad….” Gadis merengut dan matanya sudah berkaca-kaca. Ia mengusap matanya lalu memandang kapalnya dengan kecewa. Mungkin karena melihat dengan mata basah, ia seolah melihat kapal kertas itu bergerak perlahan-lahan.
”Dad, lihat! Kapalnya bergerak!”
Empat buah kapal itu mulai mengarungi air sungai menuju ke tengah, dengan sangat perlahan. Cahaya lilin yang semula sangat redup tampak lebih jelas ketika berada di tengah-tengah sungai. Nyala api yang bergoyang pelan terpantul oleh air sungai, mengandakan jumlahnya.
Gadis itu meloncat kegirangan. Kemudian ia menatap bintang yang terapung itu dengan berseri-seri. Entah kenapa si gadis kecil merasa bahwa mereka tidak sendirian. Dan mereka memang tidak sendirian.
Seorang pemuda duduk di pembatas jalan, ikut melihat kapal-kapal kertasnya yang membawa cahaya.Orang itu menoleh padanya dan tersenyum. Lilian membalas senyumnya. Orang itu membawa sesuatu yang mirip buku gambar. Lilian menatapnya dengan penuh minat. Kemudian orang itu merobek satu halaman dan menyodorkan padanya.
Gadis kecil ragu-ragu untuk mendekat. Ia menatap lagi pemuda asing itu. Kelihatannya dia orang baik, maka Lilian mendekat dan mengambil kertas itu dari tangannya. Ternyata isinya adalah gambar dia dan ayahnya yang terbuat dari goresan pensil. Hanya saja gambar itu seperti terbalik dan agak samar, seperti pantulan pada air sungai. Ada sebuah inisial yang tertulis di sudut halaman.
R.B
“Terima…..” gadis itu terkejut, karena orang itu entah bagaimana telah pergi meninggalkannya saat dia tengah mengamati gambar tersebut.

Pemuda itu menyusuri jalan dalam diam. Langkahnya hampir tidak terdengar, meskipun ia memilih jalan yang cukup lengang. Sepertinya ia juga menghindari berjalan di bawah cahaya yang terlalu terang, bahkan cenderung memilih kegelapan.
“Raphael?” Ia mendengar suara seorang gadis, sangat dekat, seolah berada dalam kepalanya sendiri.
“Ya.” Jawabnya, meskipun dia terlihat sama sekali tidak menggerakkan bibir.
“Mau ke mana?”
“Rumah sakit, mengambil makanan. Sudah mau pulang?”
“Ya, sebentar lagi.”
“Tunggu saja di situ! Setelah pulang dari rumah sakit aku akan ke tempatmu.”
“Baiklah. Hati-hati !”
Raphael tersenyum.
“Hei….jangan tersenyum!”kata suara itu. ”Orang bisa menganggapmu gila…..kau senyum-senyum sendiri.”
Raphael memang hanya sendirian, karena gadis yang berbicara dengannya jauh berada di Nutting Cafe, tiga blok dari tempat dia berada sekarang.
Kemudian terdengar tawa pelan.
“Lirith, seharusnya kau juga dilarang tertawa…”kata Raphael.

* * *
Remington Castle…….
Sebuah ruangan di lantai pertama diterangi cahaya yang lebih terang daripada ruangan-ruangan lain di lantai yang sama. Jendela sempit dan tinggi tertutup tirai berwarna merah tua kecoklatan. Rak-rak buku berdiri sepanjang dinding batu yang dilapisi panel kayu. Sebuah lemari kayu bersandar di dinding di samping jendela. Lemari itu sedikit terbuka, menunjukkan isinya yang kebanyakan juga buku-buku, tetapi kelihatan lebih seperti buku catatan daripada buku lain dalam ruangan itu. Sebuah meja kerja yang antik berada memunggungi jendela. Diatasnya tedapat beberapa buku dan kertas-kertas yang bertumpuk di sudut. Terdapat pula sebuah buku besar yang terbuka di tengah-tengah meja.
Seorang gadis cantik menelusurinya dengan jarinya yang panjang, lentik dan pucat. Rambutnya yang hitam panjang tergerai menutupi bahunya yang terbuka. Ia mengenakan pakaian hitam tanpa lengan yang menempel erat di tubuhnya. Ia melipat kakinya dengan luwes, menampilkan paha mulus yang hanya tertutupi sebagian oleh busananya. Kakinya yang mengenakan sepatu boot stylish mengetuk-ngetuk kaki meja.
Angelique Blanchard mengeluh.
“Ini benar-benar menyia-nyiakan hidupku yang abadi.”keluhnya. “Keterlaluan…..seharusnya aku keluar dan bersenang-senang, bukannya mengurusi barang-barang yang lebih tua dariku seperti ini…..aku akan membunuh Claudius…..”
“Benarkah?”
Angelique mendongak.
Seorang pria muncul. Ia mengenakan pakaian serba hitam, mulai sepatu, celana, kemeja hingga jas panjangnya yang menyerupai mantel. Rambutnya yang pendek dan matanya yang tajam sekilas memberikan kesan menakutkan. Tapi kemudian dia tersenyum.
“Claudius? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Angelique.
”Aku ingin bicara denganmu.”
Angelique tersenyum. Ia berdiri, menghampiri Claudius lalu melingkarkan kedua lengannya di leher pria itu. Angelique tersenyum lagi, kali ini lebih menggoda.
“Mm…..kau rindu padaku, Darling?”
“Sayangnya aku ke sini bukan karena alasan itu. Aku ingin meminta bantuanmu.”
Angelique melepaskan tangannya.
“Apalagi sekarang……” katanya dengan nada yang berubah dari manja menjadi kesal. ”…kau sudah membuatku tidak dapat satu lelaki pun hari in. Aku bisa stress!”
”Sudah kuduga….”

Laboratorium kastil……
Dinding laboratorium terbuat dari batu abu-abu tanpa pelapis. Berbeda dari ruangan yang lain, di sini terdapat banyak jendela yang lebar dan tinggi. Bahkan salah satu sisi dindingnya terdiri dari jendela-jendela berdaun ganda. Di bawah jendela itu tidak terdapat apa-apa, tidak seperti sudut di ruangan lain. Ketiga dinding yang lain ditutupi rak tinggi berisi alat-alat serta wadah plastik ataupun kaca yang bertuliskan nama bahan yang tersimpan di dalamnya. Di tengah ruangan ada sebuah meja panjang. Di atasnya di penuhi rangkaian alat destilasi, mikroskop serta tabung-tabung dengan berbagai ukuran. Dekat pintu tedapat meja lain yang lebih kecil di mana beberapa buku berserakan diatasnya.
Mary memutar fokus mikroskop dan dengan serius mengamati preparat di bawah lensa. Rambutnya yang hitam sebahu diikat apa adanya untuk memudahkannya bekerja. Ia mengangkat wajahnya dari lensa okuler, membetulkan letak kaca matanya, sebelum beralih ke buku catatan di samping mikroskop. Ia menuliskan sesuatu, lalu menatap catatannya sejenak dan mengerutkan kening.
”Ada masalah, Mary?”
”Oh, shit!!”seru Mary terkejut. “Milosh, jangan mengejutkanku! Sejak kapan kau di sini?”
”Sejak tadi.”
Seorang pria duduk di meja kecil di samping pintu. Rambutnya sedikit berantakan dan ekspresinya sedikit aneh, seolah ada sesuatu yang lama dipikirkan dan dinantikannya. Namun hal itu tidak menutupi posturnya yang gagah.
Mary menghela napas. Ia kembali menekuni pekerjaannya semula. Tapi ia tahu bahwa Milosh masih memperhatikannya.
”Lakukanlah hal yang lain, Milosh!” kata Mary datar, tanpa melepaskan pandangannya dari lensa mikroskop.
”Aku suka melakukan ini, melihatmu bekerja.”
”Terserah kau.”
Mary menyimpan preparatnya, melepaskan kaca matanya dan menanggalkan jas laboratoriumnya, lalu beranjak ke ruang tengah.
Ruang tengah sangat lebar, berlangit-langit tinggi dan dinding berlapis panel kayu. Ruangan itu terletak di lantai dua, dengan dua jendela di dua sisi dinding. Ada perapian besar yang jarang di gunakan, di atasnya terdapat jam meja kuno yang masih dapat menunjukkan waktu. Sepasang lampu dinding menempel di sebelah kanan dan kiri perapian.

 

Sementara itu di tengah ruangan terdapat meja dan kursi-kursi berlengan yang empuk. Di ruangan yanng sama juga terdapat meja besar dengan sepuluh kursi yang di atur menyerupai ruang makan.
”Orang tua primitif!” seru Mary saat melihat Claudius di ruang tengah.
”Benar-benar tidak sopan.” gerutu Claudius.
”Jangan berharap aku akan memanggilmu Yang Mulia.”
Claudius tersenyum.
Kemudian Raphael masuk dengan membawa sebuah tas. Ia bersama seorang gadis berambut merah.
”Claudius?” katanya.
”Halo, Raphael……dan juga Lirith!” sapa Claudius. ”Semua baik-baik saja kan? Dan kulihat kaulah yang harus mengambil darah di rumah sakit sekarang.”
”Berharap Angelique yang melakukannya?” tanya Raphael.
”Hah….di sana tidak ada dokter yang menarik.”komentar Angelique.
”Hei, Claudius!”sapa Milosh.”Meninggalkan Underworld? Ada apa gerangan?”
”Yah..tadinya aku ingin menitipkan seseorang pada Angelique. Tapi sepertinya dia sudah kabur duluan.”
Semua orang saling berpandangan.

* * *

Remington Castle hanya terlihat seperti museum kuno pada umumnya. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa kasti terpencil di atas bukit, di atas kota Remington itu adalah tempat tinggal kaum abadi. Remington Castle adalah rumah bagi beberapa vampire.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, kastil tampak sunyi senyap. Hanya nyala redup dari ruangan di lantai atas yang menandakan bahwa kastil itu masih dihuni. Sementara di luarnya, yang terdengar hanya bunyi serangga malam yang mulai keluar dari persembunyiannya. Lampu-lampu halaman pun terlihat redup dan tidak mampu mengatasi kesunyian yang ada.
Tetapi di salah satu ruangnya yang membelakangi kota, di ruangan yang cukup luas, beberapa vampire tengah duduk di kursi berlengan yang nyaman. Beberapa di antaranya terlihat masih muda dan agak tidak terkendali. Di depan deretan kursi berlengan yang berjajar itu, terdapat sepasang meja dan kursi antik serta sebuah layar proyektor.
Pada malam-malam tertentu, beberapa vampire menghadiri pertemuan yang mereka sebut sebagai kelas. Vampire yang hadir di sini pada umumnya adalah vampire baru yang berada di sekitar kota Remington. Mereka mengikuti pelajaran yang diharapkan dapat membuat mereka menjadi lebih manusiawi.
Mary dan Lirith termasuk dalam kelompok ini.
Viktor Paole, pengajar mereka yang baru, pengganti Claudius Darling berdiri di depan kelas. Dia tampak seperti orang dalam foto kuno yang hitam putih. Potongan rambutnya tampaknya dari tahun 80-an. Pakaiannya tampak terlalu kolot untuk jaman sekarang, sekalipun ia mengenakan jas. Caranya berbicara seolah dia tengah berbicara pada suatu rapat yang diadakan pejabat tinggi kerajaan di mana dia adalah salah satu dari pejabat itu. Cara bicaranya yang seperti inilah yang membuat murid-muridnya bosan.
”……..dan karya satra gothic ini banyak ditulis oleh seorang manusia berkebangsaan Inggris bernama Ferdinand Lake. Dia adalah …..”
”……orang yang kurang kerjaan”
Semua orang menoleh ke arah pintu, dimana seorang pemuda bersandar di ambang pintu. Ia terlihat seperti anak muda jaman sekarang yang suka membuat keonaran dan acuh tak acuh. Celana jeans, sepatu kets, kaos dirangkap kemeja kotak-kotak dan jaket kulit dengan kerah berdiri.
Mata hijaunya menatap Viktor jahil dan bibirnya menyunggingkan senyum menyebalkan.
”Hai, Vicky!” sapanya.
”Viktor.” koreksi sang guru. ”Duduk, Uriel. Kau terlambat.”
Pemuda itu mengusap rambut pendeknya yang pirang kecoklatan dengan tidak bersemangat dan kesal, lalu beranjak duduk di sebelah Lirith.
”Hai!” sapanya. ”Boleh tahu namamu, Sweety?”
Lirith mengkerutkan kening.
”Lirith.” jawabnya.
”Lirith? Oh, ya…. Lirith Saint-Clair. Ex-Hunter… kau memang revolusioner.”
Lirith tidak tahu harus berkata apa pada orang ini. Ia hanya menoleh pada Mary yang ada di sebelahnya. Dan mereka berdua mengangkat bahu.
”Hei, Baby….sepertinya kita pernah bertemu.” kata orang itu pada Mary.
”Aku tidak bodoh!” sentak Mary.
Orang itu tertawa.
”Buku science dan pemarah…kau pasti Mary Black.”
Mary menatap orang itu dengan heran.
”Dari mana kau tahu?”
”Mm…..kau terkenal kok, Baby.”
”Uriel!!” seru Viktor.
”Ya, Vicky….”
Beberapa vampire lain yang hadir tertawa, terlebih para gadis. Uriel memang lumayan keren ditambah gayanya yang tidak peduli.
Viktor menghampiri Uriel.
”Jangan kau pikir karena kau masih sepupu dengan Yang Mulia Borreas of Austria…..”
”Aku lebih suka memanggilnya Claudius.” potong Uriel. ” Dan aku tidak berpikir seperti yang kau pikirkan.”
Viktor menghela napas.
”Baiklah, saudara-saudara…..Ini adalah Uriel le Bousier, dia akan bergabung dengan kita….”
”Padahal aku bukan lagi vampire muda…” gerutu Uriel.
Beberapa vampire tampak bergumam.
”Sepupu Yang Mulia?”
”Uriel le Bousier…oh, Master of the Highway…”
Uriel tersenyum saja mendengar kata-kata orang di sekelilingnya.
”Ternyata aku terkenal juga.” komentarnya. ”Ya kan, Mary?”
Mary mendengus.
Setelah kelas berakhir, Mary segera keluar bersama Lirith. Ia ingin meneruskan penelitiannya.
”Jadi apa penemuan terbarumu, Bloody Mary?” tanya Uriel.
Mary menoleh.
”Percuma, kau tidak akan mengerti.” jawab Mary.
”Oh, ya?”
”Terlihat dari wajahmu.”
”Kenapa? Karena kau tampan?”
”Bukan. Wajahmu terlihat bodoh!” sentak Mary. ”Ayo, Lirith!”
”Dasar sok cerdas….” gumam Uriel.
Mary terus saja menggerutu saat ia kembali ke laboratorium.
”Aku tidak percaya, Claudius menitipkan orang itu pada kita.”
”Sudahlah, Mary…” kata Lirith. ”Dia hanya cari perhatian.”
”Salah satu ciri orang bodoh. Aku merasakan firasat buruk dengan orang itu.”
Lirith tertawa.
Sebenarnya firasat Mary tidak sepenuhnya salah. Paling tidak hari pertama Uriel ada dikastil telah membuat semua penghuninya kesal. Ia bahkan menggoda Lirith di depan Raphael. Meskipun ia tidak marah, tapi menyuruh Lirith tidak menanggapinya saja pertanda Raphael tidak senang. Uriel juga seenaknya menyalakan mesin motornya dan memutar lagu heavy metal keras-keras.
”Woo…jadi inilah guamu, Mary?” katanya saat memasuki laboratorium.
Uriel berkeliling di sekitar meja kerja Mary. Mendentingkan gelas kimia dengan tabun reaksi. Mengetuk-ngetuk labu destilasi dengan jarinya, seolah berharap uap di dalamnya bisa menari.
Mary melirik tingkah orang itu.
Ketika Uriel menyentuh tombol pengatur suhu pemanas destilasi dan hendak menaikkan suhunya, Mary segera menampar tangannya.
”Apa sih yang ada di otakmu?!”seru Mary. ”Ini laboratoriumku, jangan menyentuh apapun! Kalau perlu jangan masuk sekalian!”
”Ho..ho…tidak perlu marah dong…”
”Kau dengar katanya, kan…” potong Milosh.
Uriel menoleh.
”Jangan mengganggu pekerjaan Mary!” ujar Milosh lagi. Uriel tersenyum.
”Baiklah, Dad….” ujarnya dengan penekanan pada kata ’Dad’. Ia pun keluar dari laboratorium dan berpapasan dengan Angelique.
Uriel bersiul jahil.
”Hei, Sexy !” sapanya.
”Hei, Little Kid!” jawab Angelique. Uriel mengernyit.
”Apa?”
”Jangan bersikap sok dewasa denganku. Kau sama seperti kebanyakan cowok yang lain, terlambat untuk dewasa. Untukmu mungkin tidak akan pernah dewasa sama sekali.” Angelique meninggalkan Uriel yang tampak bersungut-sungut.
Mary tertawa puas.

Malam ini bulan bersinar terang. Cahayanya yang pucat menerobos jendela Remington Castle. Sementara di luarnya binatang-binatang malam seolah protes pada sang rembulan yang membuat matanya silau. Tidak ada suara apapun yang terdengar selain suara burung hantu yang samar-samar di hutan kecil di sisi kiri bukit.
Angelique sedang berada di ruang kerja. Mary membaca di ruang tengah bersama Lirith yang sedang bersiap-siap pergi ke Nutting Cafe. Raphael sedang berada di museum memeriksa lukisan-lukisan karena Angelique tidak mau melakukannya. Milosh sedang berada dikamarnya.
Tiba-tiba terdengar erangan yang memekakkan telinga dan menghancurkan kesunyian yang ada.
”Ada apa ini?!” seru Mary.
Lirith melihat sesosok makhluk besar berbulu meloncat keluar dari kastil.
”Mary, Milosh kabur!” serunya.
”Astaga! Sekarang bulan purnama, aku lupa….. Angelique, Milosh kabur!!”
Milosh sudah berada di halaman. Ia melolong panjang, lalu menggeram dan beranjak menuruni bukit menuju hutan. Angelique berlari mengejarnya, menarik tangannya lalu menghantamkan tubuh manusia serigala Milosh ke dinding kastil. Cukup untuk menarik perhatian makhluk itu.
”Bodoh! Mau ke mana kau?!”
Milosh menggeram lagi, lalu mulai melolong-lolong.
”Halo….” ujar Uriel yang melongok lewat jendela. ”Apa aku tidak bisa mendapat ketenangan di sini?”
Mary memutar bola matanya.
”Si dungu itu….”
Milosh terus melolong.
” Angelique…..” ujar Lirith. ”Aku mendengar ada suara lolongan lain. Di dalam hutan….”
Mereka mulai mendengar ada suara lolongan lemah di antara pepohonan.
”Sepertinya Milosh bukannya ingin kabur.” kata Mary.
”Dia mendengar suara cewek tuh” celetuk Uriel.
Angelique beranjak ke depan Milosh, lalu berdiri berhadapan dengan manusia serigala itu. Milosh menggeram pelan, seolah bicara dengan Angelique.
”Baiklah, aku mengijinkanmu ke dalam hutan,”kata Angelique ”….tapi aku ikut denganmu. Mengerti?”
Milosh menggeram lagi.
”Uriel, kau ikut denganku! Raphael, kau jaga Mary dan Lirith!”
”Hei..seharusnya aku yang bersama gadis-gadis…” protes Uriel, tapi Angelique tidak peduli.

Makhluk itu seperti Milosh, hanya saja lebih ramping. Kaki kirinya berdarah, lengannya tampak menghitam dan ada bekas-bekas memar serta darah di sekujur tubuhnya. Mary dengan bantuan Angelique memberikan obat penenang agar Lirith lebih mudah mengobati luka-lukanya. Sedangkan di kamar lain, Raphael dan Uriel berusaha menangkan Milosh. Malam ini Milosh belum mendapatkan obat untuk mengendalikan naluri serigalanya.
Sekalipun Milosh bukan manusia serigala yang liar, tampaknya ia tidak begitu suka di suruh diam saja di kastil dan tidak berkeliaran di luar. Ia juga kelihatannya tidak begitu suka didekati Uriel.
”Shit!!” seru Uriel ketika Milosh menggeram dan hampir mencakarnya. ”Makhluk idiot!” makinya.
Milosh menggeram lebih keras dan hampir saja menangkap kepala Uriel, jika saja dia tidak dengan tiba-tiba terhenyak dan menempel di dinding. Makhluk itu berusaha keras untuk meraih Uriel, namun usahanya sia-sia.
”Kau apakan dia?” tanya Uriel yang mengamati tubuh Milosh yang menempel di dinding.
”Mencegahnya mencakarmu lagi.” jawab Raphael sambil membuka botol kecil dan mengambil cairan di dalamnya dengan alat injeksi.
”Oh, ya…..Claudius bilang kau telekinetik.” ujar Uriel, lalu mengamati Raphael menyedot cairan kekuningan itu. ”Itu apa sih?”
”Semacam obat penenang untuk werewolf. Mary yang membuatnya.”
”Dia??” tanya Uriel seolah tidak percaya.
”Dia bisa saja meracunimu.” kata Raphael sambil meletakkan alat suntik di telapak tangannya. Kemudian benda itu melayang dan meluncur ke arah Milosh, menusuk lengannya.
Milosh menggeram lalu perlahan dia roboh dan seolah tertidur.
”Cool…..” komentar Uriel.
”Menurutmu, kenapa dia terluka?” tanya Mary pada Angelique setelah mereka kembali ke ruang tengah.
”Entahlah. Pikiran werewolf lebih sulit untuk dibaca.”
”Lengannya hampir patah.” kata Lirith. ”Kupikir werewolf sangat kuat.”
”Apapun yang menyerangnya pasti lebih kuat dari werewolf.”
”Bagaimana kabar cewek serigala itu?” tanya Uriel.
”Darimana kau tahu dia perempuan?”
”Itu keahlianku.”
Mary mendengus.
Karena pertimbangan ada dua werewolf di kastil, Angelique mengurungkan niatnya untuk keluar bersenang-senang. Akibatnya sepanjang malam ini, justru dialah yang terus – terusan mengamuk.

* * *

Gadis itu berambut pirang dan ikal. Dia cantik dan matanya tajam. Ia masih berjalan dengan terpincang-pincang dan salah satu lengannya pun masih di gendong.
”Terima kasih sudah menolongku.” katanya pada Milosh.
”Aku hanya mendengar panggilanmu. Teman-temanku yang menolongmu. Ayo kuperkenalkan pada mereka!”
Mereka menuju ke ruang tengah, dimana yang lain sedang berkumpul.
”Teman-teman, ini Livana Rendall.”
”Halo!” sapa gadis itu.
”Aku Uriel, sayang” kata Uriel. Livana tersenyum datar.
”Ini Mary, yang mengobatimu.” ujar Milosh.”dan juga Lirith.”
Livana tersenyum pada Lirith.
”Saint-Clair, bukan?” tanyanya. ”Kau terkenal.” Gadis itu melirik Raphael, lalu tersenyum manis. ”Kalau begitu, kau lah Raphael Blanchard.”
Raphael mengangguk.
”Orang pertama yang meminum darah Hunter” ujar Livana tanpa tahu Raphael tidak suka hal itu di ungkit-ungkit.
”Dan itu…”sambung Milosh, ” Angelique.”
Livana manatap Angelique cukup lama.
”Jangan katakan kau Angelique Blanchard.”
”Ada masalah?” tanya Angelique.
”Jadi kaulah orangnya……” ujar Livana menatap Angelique dari atas ke bawah. ”penakluk para pria.”
”Yah…kurasa kau benar.”

Nutting Cafe….
Lirith membersihkan meja tamu. Hari ini cafe sangat ramai, pengunjung datang dan pergi. Ia dan teman kerjanya , yang jelas tidak tahu siapa Lirith sekarang ini, cukup kerepotan. Mereka pontang-panting menyiapkan pesanan dan mengantarnya ke meja tamu.
”Wah…capek..” keluh Jane, teman kerja Lirith yang baru.
”Hei, girls..ada cewek cantik nggak?” celetuk Pete, rekan kerja yang lain. ”wah..itu dia!” serunya saat melihat seorang gadis masuk. ”Sexy…..”
Lirith melirik gadis yang dimaksud Pete.
”Jangan macam-macam, Pete!” kata Lirith. Gadis yang baru datang itu adalah Angelique.
”Kenapa?”
”Kita sedang bekerja kan?”
”Bos pasti marah.”tambah Jane.
Tak lama kemudian terdengar suara menggelegar yang menyuruh mereka untuk kembali bekerja dan bukannya ngobrol.
Angelique duduk dan minum sendirian. Sebanyak apapun dia minum, tentu saja tidak memberikan pengaruh apa-apa padanya. Ia bahkan tidak merasakan rasa minuman yang baru saja diminumnya.
”Sendirian, Sayang?” tanya seorang pria.
”Mau menemani?”
”Tentu saja.”
Pria itu duduk merapat pada Angelique, satu tangannya di atas paha gadis itu, sedang tangan yang lain melingkari pinggangnya.
”Siapa namamu, Sayang?”
” Angelique.”
” Angelique….kau tidak ingin tahu siapa namaku?”
”Itu tidak penting.”
”Gadis nakal….”
Pria itu mengecup bahu Angelique , lalu lehernya dan pipinya. Angelique memeluk tubuh pria itu, kemudian mereka berciuman seru.
”Kita perlu kamar, Sayangku..”
”Tentu saja.”
Tiba-tiba sepasang tangan lentik menyentuh paha pria itu.
”Hai, Jagoan..”
Pria itu menoleh. Seorang gadis pirang duduk di sebelahnya. Ia membelai wajah pria itu.
”Hai, manis…”
Si pria tampaknya sangat senang berada di antara kedua gadis itu. Ia memeluk merka berdua. Namun, Angelique menepis tangannya, lalu beranjak meninggalkan mereka.
Ia menemui Lirith dan meminta segelas bir. Lirith memberikannya sambil menahan senyum.
”Jangan menertawakan aku!” ujar Angelique, ”Sebenarnya apa maksud Livana itu?!”
”Sudahlah, masih banyak yang lain kan.”
”Hh..aku sudah kehilangan selera.”
Lirith tersenyum.

Remington Castle….
”Jadi apakah kau suka tinggal di sini?” tanya Claudius pada Uriel.
”Mm…lumayan.”
”Benarkah? Padahal aku sudah membayangkan kau akan kabur dari sini dalam dua hari mendatang.”
”Tenang saja, aku tidak akan melakukannnya.”
Claudius mengangkat alis.
”Aku akan mengusirnya!!” seru Angelique. Spontan Claudius dan Uriel menoleh.
”Hei..apa salahku?!” tanya Uriel.
”Bukan kau! Tapi wanita penggoda itu!”
Uriel tertawa, menurutnya Angelique seakan-akan hendak mengusir diri sendiri. Bukannya dia juga penggoda?
”Sudah tidak jelas asal usulnya! Tahu-tahu datang terluka. Tidak tahu terima kasih.”
”Apakah aku yang kalian bicarakan?” Livana muncul. ”Selamat malam, Yang Mulia.” katanya pada Claudius.
”Ehem!” potong Angelique. ”Kulihat kau sudah sembuh. Tidak ada alasan lagi untuk tinggal di sini, bukan?”
”Kenapa?”
”Karena aku bukan orang baik hati yang mau menampung orang tersesat.”
Livana tersenyum.
”Tapi kastil ini bukan milikmu, bukan?”
Angelique menggeram, ia memandang Claudius minta persetujuan.
”Selama ini di mana kau tinggal?” tanya Claudius.
”Aku berpindah-pindah, mengelana sendiri.” jawab Livana. ”Aku mulai bosan sendirian.”
Claudius mengangguk tanda mengerti.
”Hei…hei…Claudius,” potong Angelique. ”Apa maksud anggukanmu tadi?”
”Ayolah, Angelique….dulu kau juga berkelana bersama Raphael. Kau tahu ada saatnya kita berhenti.”
”Damn!!” umpat Angelique.
”Terima kasih, Yang Mulia.” kata Livana, kemudian ia beralih pada Angelique. ”Dan Angelique, lelaki tadi lumayan juga.”
”seharusnya dia milikku!”
Livana tersenyum.
”Tapi dia memilihku, Angelique sayang….”
Angelique mendengus saat Livana pergi meninggalkan mereka.
”Apa maksudmu, Claudius?!” protesnya.
”Meskipun dia boleh tinggal di sini, bukan berarti kau tidak mengawasinya, bukan? Apa kau melihat ada yang aneh dengannya.”
”Tidak.” jawab Angelique. ”Mengherankan….padahal aku berharap mengetahui bahwa dia adalah orang jahat, agar aku punya alasan untuk membunuhnya.”
”Kuharap merebut mangsamu bukan masuk kriteria orang jahat.”
Angelique menghela napas.
”Dasar wanita serigala….” gerutu Angelique sebelum meninggalkan ruangan.
Uriel yang dari tadi hanya menjadi penonton, bersiul nyaring. Ia menatap kepergian Angelique sambil berdecak kagum.
”Mereka memang menakjubkan.” ujarnya. ”Cantik, sexy, kuat, menggairahkan….”
”Jangan katakan kau mau tinggal di sini karena ada mereka berdua.” kata Claudius.
”Oh…tentu saja tidak.”
Uriel tersenyum jahil.
”ngomong-ngomong, Uriel….kemarin Viktor mengatakan padaku…..”
”Ah..si Vicky itu, dasar pengadu! Apa lagi sekarang???”
”Uriel!!”

to be continue…..

Published in: on November 26, 2009 at 6:05 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: